EPIDEMI GLOBAL
Ada monster yang sedang berkeliaran_monster ini bernama KEBENCIAN ! Dan
ia merajalela hampir di seluruh pelosok dunia. Dia bahkan membuat beberapa
tempat terhuyung-huyung akibat gelombang-gelombang kampanye sapu bersih etnik /
genosida.
Permusuhan selama berabat-abad mengakibatkan
pembantaian massal, pemerkosaan, pengusiran, pembakaran, penjarahan
rumah-rumah, perusakan panenan dan ternak serta kelaparan. Ranjau darat masih
terdapat di mana-mana.
Ratusan ribu orang telah melarikan diri sejak tahun
2001. Mereka harus melarikan diri dalam ketakutan, menghindar dari kekejaman
pembunuhan, pemukulan, desingan peluru, dan pengusiran paksa. Mereka
meninggalkan daerah yang sudah diubrak-abrik oleh gerombolan milisi. “Saya
merasa seperti binatang yang sedang diburu,” keluh seorang korban.
Bangunan-bangunan apartemen, tempat kerja, sekolah,
hotel, mall, tempat bermain anak-anak, dan sebagainya diporak-porandakan
ledakan bom teroris. Alhasil puluhan, ratusan orang cedera, bahkan ribuan orang
kehilangan orang-orang yang dikasihi. Melihat dampak lanjutan dari kengerian
seperti itu, orang-orang bertanya “Siapa yang akan menjadi korban berikutnya ?”
Kejadian lain juga terjadi di pertengahan tahun 2001 di
Los Angeles, California. Seorang rasialis memberondongkan peluru kearah
sekelompok anak TK berkebangsaan Yahudi lalu menembak mati seorang tukang pos
berkebangsaan Philipina. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila kebencian
digambarkan sebagai epidemi global. Hampir setiap hari, laporan berita
mengungkapkan aksi-aksi kekerasan yang terjadi akibat permusuhan rasial, etnik,
atau agama. Kita menyaksikan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok masyarakat dan
keluarga diceraiberaikan. Kita menyaksikan Negara-negara kacau karena genosida
besar-besaran. Kita menyaksikan dilakukannya tindakan-tindakan tidak manusiawi
yang sangat mengerikan hanya karena beberapa orang dianggap “berbeda”.
AKAR KEBENCIAN
Kurangnya Pengetahuan dan Perasaan Takut
Kecemburuan adalah salah satu akar di anatara banyak penyebab
kebencian. Sering kali, kebencian juga dipicu akibat kurangnya pengetahuan dan
perasaan takut. Seorang pemuda anggota sebuah kelompok rasialis yang garang
berkata : “Sebelum saya belajar membenci, saya belajar merasa takut”. Perasaan
takut demikian biasanya bermula dari kurangnya pengetahuan. Menurut The World
Book Encylopedia, orang yang berprasangka cenderung mempunyai pendapat yang
“tetap dipertahankan tanpa memperdulikan bukti yang ada, orang-orang yang
berprasangka cenderung memutarbalikan, menyimpangkan, menyalahartikan, atau
bahkan mengabaikan fakta-fakta yang bertentangan dengan pendapat yang sudah
mereka tetapkan”.
Dari mana datangnya pendapat ini ? “Sejarah turut
menentukan stereotip budaya, tetapi riwayat pribadi kita turut menentukan
kecenderungan pikiran kita.”
Sebagai contoh, sejarah jual-beli budak di AS telah
meninggalkan ketegangan yang turun-temurun antara orang kulit putih dan orang
kulit hitam berdarah Afrika_ketegangan yang terus ada sampai hari ini. Sering
kali, pandangan-pandangan rasialis yang negatif diturunkan dari orang tua
kepada anak-anak mereka. Seorang pendukung rasialis berkulit putih mengakui
bahwa dengan cara demikianlah kebencian rasial dalam dirinya bertumbuh, padahal
“tidak ada kontak langsung apa pun dengan orang-orang berkulit hitam”.
Selain itu, ada pula yang percaya begitu saja bahwa
orang-orang yang berbeda dengan mereka itu memuakan. Pendapat ini mungkin
didasarkan pada sebuah pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan ketika
berurusan dengan seseorang yang berasal dari rasa tau kebudayaan lain. Dari
pengalaman itu, mereka langsung menarik kesimpulan bahwa semua orang dari rasa tau kebudayaan tersebut pastilah berperangai
buruk.
Dalam skala perorangan saja, prasangka ras sudah dapat
dikatakan memuakan, terlebih lagi dalam skala nasional atau kelompok, prasangka
bias berakibat fatal. Anggapan bahwa kebangsaan, warna kulit, kebudayaan, atau
bahasa membuat seseorang lebih unggul dari pada orang lain dapat menumbuhkan
fanatisme dan xenophobia (perasaan takut kepada siapa pun atau apa pun yang
asing). Selama abad ke- 20, fanatisme seperti itu sering diekspresikan dalam
bentuk kekerasan.
Yang menarik, kebencian dan fanatisme tidak selalu
harus berkaitan dengan warna kulit atau kebangsaan. Peneliti Clark McCauley
dari Universitas Pennylvania menulis bahwa “pembagian orang-orang ke dalam dua
kelompok saja, yang dilakukan dengan cara semaunya dan tidak berdasarkan
kriteria tertentu, sudah cukup untuk membuat kelompok itu mempunyai pilihan
yang berbeda”. Seorang guru kelas tiga membuktikan hal tersebut sewaktu ia,
sebagai bagian dari sebuah eksperimen yang terkenal, membagi kelasnya menjadi
dua kelompok_anak-anak bermata biru dan anak-anak bermata cokelat. Dalam waktu
singkat, telah berkembang rasa permusuhan antara kedua kelompok tersebut.
Bahkan orang-orang dapat saling bentrok dengan sengitnya hanya karena hal-hal
sepele seperti mendukung tim yang berbeda dalam olahraga tertentu.
- Prasangka dan kebencian adalah perilaku yang dipelajari !
Mengapa permusuhan seperti itu dinyatakan dengan cara-cara kekerasan ?
Clark McCauley mengumpulkan bibiografi yang ekstensif tentang riset yang
dilakukan sehubungan dengan kekerasan dan keagresifan manusia. Ia menyebutkan
salah satu penelitian yang menunjukan bahwa “kekerasan dikaitkan dengan keterlibatan
dan kemenangan dalam peperangan. Para peneliti mendapati bahwa “bangsa-bangsa
yang terlibat dalam PD I dan PD II. Terutama bangsa-bangsa pihak pemenang,
mencatat peningkatan angka pembunuhan setelah perang usai”. Para peneliti
lainnya mencari penjelasan biologis untuk keagresifan manusia. Sebuah
penelitian mencoba menghubungkan beberapa bentuk keagresifan dengan “kadar
serotonin yang rendah dalam otak”. Hipotesis popular lain mengatakan bahwa
keagresifan mengintai dalam gen kita. “Sebagian besar [kebencian] mungkin saja
bersifat bawaan,”demikian pendapat seorang ilmuwan politik. Akan tetapi tidak
semua orang memiliki kebencian yang tidak masuk akal terhadap orang lain. Hal
itu musti dipelajari. Phisikolog Gordon W. Allport mengamati bahwa bayi memberikan
“sedikit bukti tentang adanya naluri destruktif. Bayi bersikap positif,
mendekat hampir ke setiap jenis stimulus, segala macam orang”.
Kesimpulan-kesimpulan seperti itu mendukung pendapat bahwa keagresifan,
prasangka, dan kebencian adalah perilaku yang dipelajari ! Kesanggupan manusia
yang mencolok untuk belajar membenci dieksploitasi secara agresif oleh
guru-guru kebencian.
Di garis depan terdapat para pemimpin berbagai kelompok
pendukung kebencian, seperti preman neo -Nazi dan Ku Klux Klan, Red Skin dan
apa pun itu, sering mengincar anak-anak muda lugu dari keluarga yang tidak
berfungsi secara normal untuk direkrut. Anak-anak muda yang menderita perasaan
tidak aman dan rendah diri mungkin tertarik oleh keakraban yang ditawarkan
kelompok-kelompok pendukung kebencian ini.
Tidak semua promotor kebencian tergabung dalam
kelompok-kelompok ekstremis yang eksentrik. Seorang sosiolog yang menulis
tentang konflik di Balkan pernah menyebutkan mengenai penulis-penulis tertentu
yang bereputasi baik dan mengenai penggagas, “Saya benar-benar terkejut melihat
gaya tulisan mereka yang menggelitik motif buruk rekan-rekan sebangsa mereka,
membangkitkan rasa benci mereka, mengaburkan penilaian mereka dengan mendesak
mereka untuk melihat tidak adanya larangan untuk perilaku apa pun dan menyalah
gambarkan kenyataan”.
Hal yang juga tidak bisa diabaikan adalah peranan para
pemimpin agama. Dalam bukunya Holy Hatred : Religious Conflicts of the ‘90’s
(Kebencian Suci : Konflik-Konflik Keagamaan Tahun’90-an), penulis James A. Haught
mengemukakan kesimpulan yang sangat mengejutkan. “Hal yang sangat ironis pada
tahun 1990-an adalah bahwa agama_yang seharusnya merupakan sumber kebaikan dan
kepedulian bagi manusia_berada di barisan terdepan sebagai factor utama
penyebab kebencian, peperangan, dan terorisme”.
KESIMPULAN : Bahwa penyebab kebencian itu banyak dan kompleks. Apakah ini berarti
jalan buntu bagi umat manusia untuk menghentikan tindakan-tindakan bodoh dalam
sejarahnya yang penuh kebencian ? Adakah sesuatu yang dapat dilakukan secara
perorangan mau pun secara global dalam perjuangan mengatasi kesalah pahaman,
kurangnya pengetahuan, dan rasa takut yang menghasilkan kebencian ?
Menghentikan Siklus Kebencian
TIPS :
1.
Arti “Kasih”
2.
Belajar Mengasihi
3.
Meruntuhkan Tembok Pemisah Kelompok Etnik
4.
Membiarkan Kejadian di Masa Lampau Berlalu
5.
Menganggap Kebencian Sebagai Epidemi (Monster)